Wall Street

Investor Fokus Wall Street Pekan Ini Menyambut Data Ekonomi AS

Investor Fokus Wall Street Pekan Ini Menyambut Data Ekonomi AS
Investor Fokus Wall Street Pekan Ini Menyambut Data Ekonomi AS

JAKARTA - Pasar saham Amerika Serikat memasuki pekan terakhir perdagangan tahun ini dengan penuh perhatian, menanti rilis sejumlah data ekonomi penting yang sempat tertunda.

Investor menaruh fokus utama pada laporan ketenagakerjaan dan inflasi yang akan diterbitkan dalam beberapa hari mendatang. Data ini dianggap krusial untuk membaca arah ekonomi Negeri Paman Sam sekaligus menentukan langkah investasi menjelang akhir tahun.

Pada penutupan perdagangan pekan lalu, indeks saham utama AS mengalami penurunan, meski S&P 500 mencatat rekor tertinggi pada hari Kamis, 11 Desember 2025. Tekanan pada sektor teknologi, terutama saham Oracle dan Broadcom yang mengecewakan secara kuartalan, turut memengaruhi kinerja pasar. Kedua perusahaan ini sebelumnya menjadi pendorong utama reli di sektor artificial intelligence (AI).

Dampak Penundaan Laporan Pemerintah terhadap Pasar

Penundaan laporan ekonomi akibat sebagian penutupan pemerintah selama 43 hari membuat investor bergerak dalam ketidakpastian. Kondisi ini menambah risiko volatilitas di pasar, mengingat keputusan Federal Reserve (The Fed) sangat bergantung pada data-data tersebut. Laporan nonfarm payrolls AS untuk November dijadwalkan terbit pada Selasa, 16 Desember 2025, diikuti data indeks harga konsumen (CPI) pada Kamis, 18 Desember 2025. CPI menjadi indikator utama inflasi yang memengaruhi arah kebijakan moneter The Fed.

Jim Baird, Chief Investment Officer Plante Moran Financial Advisors, mengatakan bahwa kurangnya kejelasan data sebelumnya membuat investor berhati-hati. "Selama ini ada kurangnya kejelasan bagi investor," ujarnya dikutip dari Reuters.

Peran Data Ketenagakerjaan dan Inflasi dalam Kebijakan Moneter

Kinerja laba korporasi yang solid dan ekspektasi pemangkasan suku bunga sebelumnya menopang pasar, tetapi perhatian kini kembali ke fundamental ekonomi. The Fed telah menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Rabu, 10 Desember 2025 pemangkasan ketiga secara beruntun, untuk menopang pasar tenaga kerja yang melemah.

Meski demikian, bank sentral menegaskan biaya pinjaman tidak akan kembali turun dalam waktu dekat, sambil menunggu kejelasan data ekonomi. David Seif, Chief Economist Nomura untuk pasar negara maju, menekankan bahwa investor akan menerima sekitar tiga bulan data ketenagakerjaan dan inflasi di antara pertemuan The Fed pada Desember dan Januari, yang menjadi dasar keputusan moneter selanjutnya.

Ekspektasi Nonfarm Payrolls dan Risiko Resesi

Berdasarkan jajak pendapat Reuters, nonfarm payrolls AS diperkirakan hanya bertambah 35.000 pada November 2025. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyebut rata-rata penambahan tenaga kerja sejak April 2025 sekitar 40.000 per bulan, namun angka tersebut dinilai terlalu optimistis. Senior Global Macro Strategist State Street, Marvin Loh, memperingatkan bahwa jika data ketenagakerjaan negatif mulai muncul, pembicaraan soal resesi bisa muncul kembali.

Inflasi Masih Menjadi Perhatian Utama

Data CPI yang akan dirilis juga menjadi fokus pasar karena inflasi masih berada di atas target The Fed. Kondisi ini berpotensi memperlambat langkah pelonggaran moneter jika inflasi tidak menunjukkan penurunan signifikan. Tiga pejabat The Fed menyatakan dissent dalam keputusan pemangkasan suku bunga terakhir, termasuk dua yang menilai suku bunga sebaiknya dipertahankan. Ekonom Morgan Stanley memproyeksikan pemangkasan suku bunga lanjutan mungkin baru dilakukan pada Januari dan April 2026, tergantung stabilitas pasar tenaga kerja dan inflasi.

Laporan Penjualan Ritel dan Kinerja Korporasi

Selain data ketenagakerjaan dan CPI, laporan penjualan ritel juga akan diterbitkan pekan ini, memberikan gambaran tambahan mengenai laju pertumbuhan ekonomi. Kinerja kuartalan perusahaan teknologi, seperti Micron Technology, juga menjadi sorotan utama di tengah volatilitas saham AI.

Sepanjang 2025, S&P 500 telah menguat sekitar 16%, melanjutkan reli bullish sejak Oktober 2022. Secara historis, Desember dikenal sebagai bulan positif bagi pasar saham, atau yang disebut fenomena Santa Claus rally. Meski demikian, investor juga berpotensi mengambil keuntungan menjelang tutup tahun, yang dapat menimbulkan tekanan jual.

Tantangan Volatilitas di Akhir Tahun

Periode libur akhir tahun biasanya menurunkan volume transaksi, sehingga pergerakan harga aset lebih rentan volatil. Marvin Loh menekankan, meski 2025 merupakan tahun baik bagi aset berisiko, data yang mengecewakan atau tidak cukup mendukung risiko bisa memicu peningkatan volatilitas di pasar yang sepi.

Investor disarankan tetap waspada dan memantau data ekonomi yang akan dirilis, serta mempertimbangkan strategi investasi yang sesuai dengan kondisi pasar global dan domestik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index